
Gonjang-ganjing dan
saling klaim budaya antara Indonesia dan Malaysia telah reda. Hal itu tidak
berarti untuk seterusnya. Ledakan-ledakan kemarahan dan emosional masih
berpotensi muncul setiap saat. Konsekuensi sebagai bangsa serumpun, bertetangga
dekat dan perbedaan-perbedaan yang mulai terlihat dan terasa. Khususnya,
perbedaan yang berkaitan dengan kondisi sosial dan ekonomi dan pembangunan SDM.
Indonesia adalah negara besar. Negara dengan pulau terbanyak di dunia
(17.504), lebih dari 740 suku bangsa, serta tidak kurang dari 583 bahasa daerah
dengan 67 bahasa induk. Jumlah penduduk Indonesia menurut BPS pada tahun 2009
ini berjumlah 231 juta. Melihat data tersebut sebenarnya kurang beralasan kalau
harus cemburu dan bereaksi secara berlebihan terhadap klaim budaya negara
lain. Lebih-lebih dengan kematangan, kedewasaan serta warisan tak ternilai yang
telah diberikan pemuda Indonesia pada 1928 silam.
Dengan ”Sumpah Pemuda”nya pada 81 (delapan puluh satu) tahun yang lalu,
dengan segenap kepercayaan diri yang tebal, keberanian yang menyala-nyala di
bawah tekanan penjajah, serta di balik kondisi heteroginitas suku, budaya, golongan,
aspirasi politik, dan agama, mereka tanpa ragu-ragu menyuarakan satu tekad:
bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu, bahasa Indonesia. Tanpa kesadaran
yang kuat, kepercayaan diri, kebersamaan serta kerelaan menepiskan kepentingan
pribadi dan golongan, maka peristiwa itu tidak akan pernah terwujud. Dan itu
merupakan warisan budaya yang tidak ternilai harganya.
Rasa
cemburu yang muncul dalam berbagai bentuk seperti marah, mudah tersinggung,
sampai dengan tindakan-tindakan reaktif lainnya, biasanya dapat diakibatkan
oleh dua hal. Pertama adalah karena rasa cinta/ sayang yang berlebihan
sehingga memunculkan takut kehilangan atau pun direbut orang lain. Rasa cinta
itu merupakan modal positif asal disertai dengan usaha-usaha pemeliharaan dan
pengembangan, sehingga secara kualitas akan semakin meningkat. Kedua adalah
karena rasa ketidakpercayaan diri, keterbatasan, ketidakmajuan, serta berbagai
kelemahan dan ketidakberdayaan dibanding dengan kompetitor. Cemburu dalam
konteks budaya sebenarnya juga perlu asal dilatari rasa cinta, telah melakukan
pemeliharaan terhadap warisan budaya (national
heritage), penanaman nilai-nilai, serta berbagai kegiatan konstruktif
lainnya. Ketidakpercayaan diri serta berbagai perasaan sejenis yang muncul
karena melihat kelebihan-kelebihan kompetitor, tidak perlu memunculkan sikap
yang sangat reaktif, apalagi anarkhis. Lebih-lebih apabila telah menyadari
demkian banyak kebanggan nasional yang telah dimiliki bangsa Indonesia.
Budaya Nasional
Salah
satu kebanggaan nasional (national
pride), adalah bahasa nasional, bahasa Indonesia sebagaimana telah
dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 81 tahun yang lalu. Kebudayaan Indonesia adalah
seluruh kebudayaan lokal dari seluruh ragam suku-suku di Indonesia. UUD 1945
telah menjelaskan bahwa kebudayaan nasional adalah 1) buah usaha budi rakyat
Indonesia, 2) kebudayaan lama dan asli di daerah, serta 3) kebudayaan yang
bertumpu pada ciptaan-ciptaan baru. Merujuk kembali kebesaran Negara Indonesia
sebagaimana di atas, sanggupkah menghitung, mengetahui dan sudah merasa
memiliki berbagai budaya dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia?
Indonesia memiliki berbagai unsur kebudayaan yang unik dan khas yang bersumber
dari heteroginitas bangsa. Tujuh unsur kebudayaan sebagaimana dikemukakan
Koentjaraningrat, adalah sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi
kemasyarakatan, sistem Ilmu pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem sarana
kehidupan, sistem teknologi. Dengan demikian dapat dilihat, bahwa tari
“Pendet”, “Reyog”, lagu “Rasa Sayange” adalah sebagian kecil (kesenian)
dari harta kebudayaan Indonesia, bak butir-butir pasir di laut budaya yang
luas. Sudahkah sebagai anak bangsa telah melakukan upaya-upaya menghormati dan
merasa memiliki kekayaan budaya daerah/ suku lain sebagai bagian dan
keseluruhan budaya bangsa Indonesia? Melakukan pemeliharaan, pelestarian, dan
pengembangan? Tetapi sebanyak apapun jika tidak ada kepedulian, kepemilikan,
serta kebanggaan, juga akan hilang sebagaimana buih-buih dilautan.
Globalisasi dan Perawatan Budaya Nasional
Era
globalisasi yang ditandai oleh adanya saling kebergantungan (interdependence) antarnegara. Hal
ini suatu hal yang tidak bisa dihindari, sebagai konsekuensi dari semakin
longgarnya batas negara. Dunia menjadi tanpa batas (borderless), yang ditandai dengan tidak terhambatnya arus orang,
barang dan jasa. Globalisasi juga ditandai dengan semakin bebasnya arus
informasi dan komunikasi menembus batas-batas teritorial negara, membawa
pengaruh dalam berbagai bidang. Komunikasi dan interaksi yang tidak dapat
dibatasi oleh batas geografis dan teritorial, memungkinkan terjadinya interaksi
dan keterpengaruhan.Termasuk di dalamnya adalah pola kepribadian, gaya hidup,
dan kesenian. Semakin lemah suatu negara maka akan semakin besar dia
terpengaruh dan bergantung. Sikap pragmatis, individualis, materialis dan
hedonis merupakan hal-hal yang terbawa juga dan berpengaruh pada masyarakat.
Saling pengaruh adalah proses yang wajar namun menjadi catatan tersendiri
jika daya tahan rapuh. Internalisasi nilai-nilai yang terbentuk
bertahun-tahun yang membentuk budaya, akan tergerogoti oleh nilai-nilai
luar karena tidak adanya komitmen kuat. Akhirnya, kebudayaan yang terbentuk
melalui proses panjang, terus menerus dan dimulai dari kebiasaan-kebiasaan
serta dari satuan-satuan kecil (individu, kelompok) sampai kepada satuan yang
besar (suku, bangsa), akan hilang dan tergantikan oleh budaya luar secara
pelan-pelan tapi pasti.
Arus
budaya global dengan segala plus dan minusnya, merupakan tantangan besar bagi
penataan nilai-nilai budaya dan watak bangsa (nation and
character building). Hal
ini merupakan persoalan serius, jika tidak ingin kehilangan nilai-nilai dan
budaya adi luhung yang sudah
terbentuk berabad-abad. Peningkatan
daya tahan dan komitmen harus dilakukan secara sistematis, terintegrasi dan
holistik. Tidak hanya lewat jalur pendidikan, tetapi juga non pendidikan.
Formal dan informal. Antardepartemen dan lintas departemen.
Sudah saatnya
antara Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata (Depbubpar) lebih meningkatkan kinerja dan kerja samanya dalam
memelihara, merawat dan mengembangkan kebudayaan. Kebudayaan bukan semata-mata
kesenian. Kesenian hanyalah sub sistem kebudayaan. Di dalamnya terdapat
pengendapan tata nilai, penggalian, pelestarian dan pengembangan sehingga
kebudayaan sebagai identitas nasional tetap eksis. Di situlah peran Depdiknas
yang dahulu merupakan satu kesatuan dengan kebudayaan ketika masih bernama
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional (Departemen P dan K).
Pendidikan tidak hanya dituntut untuk menghasilkan manusia-manusia cerdas dan
siap berkompetisi secaram global. Melahirkan generasi yang berkepribadian kuat,
kepemimpinan yang tangguh serta merawat, mengembangkan dan mengawal identitas
budaya nasional juga merupakan suatu keharusan. Apalagi di tengah-tengah
gencarnya serbuan dan arus bandang budaya asing yang belum tentu sesuai dengan
karakter bangsa. Juga di saat kondisi bangsa yang
sedang mengalami berbagai dekadensi akibat faktor internal maupun eksternal.
Diperlukan strategi budaya untuk menangkal dan memfilter produk budaya asing
yang tidak sesuai. Penanaman nilai-nilai keindonesiaan melalui jalur pendidikan
serta pelibatan masyarakat secara luas adalah salah satu solusinya. Penanaman
kebanggaan, inventarisasi, sosialisasi dan saling tukar apresiasi produk-produk
budaya etnik yang beraneka ragam, sangat penting untuk menumbuhkan kepemilikan
dan kebersamaan. Alangkah indahnya jika saudara-saudara di Papua dapat
menikmati pertunjukan Ketoprak, senang makan gudeg, menikmati ronda malam dan
kerja bakti di Jogyakarta. Atau rekan-rekan Jawa yang menikmati dan fasih,
ketika mendendangkan “Apuse”, “Butet”, gemar makan bubur Manado, serta menemukan
keasyikan ketika ikut tradisi “bakar batu”. Diperlukan langkah-langkah nyata,
terpadu, dan terus-menerus agar terbentuk mental, kepribadian dan kemauan kuat
untuk merawat dan mengawal identitas budaya nasional. Tidak hanya oleh
pemerintah, tetapi juga segenap anak bangsa. Dan dimulai dari diri sendiri,
lingkungan terkecil, dan akhirnya keseluruhan.
0 komentar:
Posting Komentar