Konflik berasal dari kata kerja Latin configere
yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya. Konflik, dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2002)
diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, dan pertentangan. Menurut Kartono
& Gulo (1987), konflik berarti ketidaksepakatan dalam satu pendapat emosi
dan tindakan dengan orang lain. Keadaan mental merupakan hasil impuls-impuls,
hasrat-hasrat, keinginan-keinginan dan sebagainya yang saling bertentangan,
namun bekerja dalam saat yang bersamaan. Konflik biasanya diberi pengertian
sebagai satu bentuk perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, faham dan
kepentingan di antara dua pihak atau lebih. Pertentangan ini bisa berbentuk
pertentangan fisik dan non-fisik, yang pada umumnya berkembang dari
pertentangan non-fisik menjadi benturan fisik, yang bisa berkadar tinggi dalam
bentuk kekerasan (violent), bisa juga berkadar rendah yang tidak menggunakan
kekerasan (non-violent).. Fenomena ini termasuk dalam kategori konflik,
walaupun tidak mengarah kepada pertentangan fisik. Konflik juga dimaknai
sebagai suatu proses yang mulai bila satu pihak merasakan bahwa pihak lain
telah mempengaruhi secara negatif, atau akan segera mempengaruhi secara
negatif, sesuatu yang diperhatikan oleh pihak pertama. Suatu ketidakcocokan
belum bisa dikatakan sebagai suatu konflik bilamana salah satu pihak tidak
memahami adanya ketidakcocokan tersebut (Robbins, 1996).
Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah
mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya,
konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bisa terjadi karena hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau
kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki tujuan-tujuan yang tidak sejalan
(Fisher, dalam Saputro, 2003). Sedangkan White & Bednar (1991) mendefinisikan
konflik sebagai suatu interaksi antara orang-orang atau kelompok yang saling
bergantung merasakan adanya tujuan yang saling bertentangan dan saling
mengganggu satu sama lain dalam mencapai tujuan itu. Jika tindakan seseorang
individu untuk memenuhi dan memaksimal kan kebutuhannya menghalangi atau
membuat tindakan orang lain jadi tidak efektif untuk memenuhi dan memaksimalkan
kebutuhan orang tersebut, maka terjadilah konflik kepentingan (conflict of
interest) (Deustch dalam Johnson & Johnson, 1991). Cassel Concise dalam
Lacey (2003) mengemukakan bahwa konflik sebagai “a fight, a collision; a
struggle, a contest; opposition of interest, opinion or purposes; mental
strife, agony”. Pengertian tersebut memberikan penjelasan bahwa konflik adalah
suatu pertarungan, suatu benturan; suatu pergulatan; pertentangan kepentingan,
opini-opini atau tujuan-tujuan; pergulatan mental, penderitaan batin. Konflik
adalah suatu pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seorang
terhadap dirinya, orang lain, orang dengan kenyataan apa yang diharapkan
(Mangkunegara, 2001). Konflik juga merupakan perselisihan atau perjuangan di
antara dua pihak (two parties)yang ditandai dengan menunjukkan permusuhan
secara terbuka dan atau mengganggu dengan sengaja pencapaian tujuan pihak yang
menjadi lawannya (Wexley &Yukl, 1988). Gambar 6.2 di bawah ini adalah salah
satu contoh konflik yang sesuai dengan pendapat di atas, yaitu ketika apa yang
diharapkan oleh suporter persebaya agar kesebelasan kesayangannya menang tidak
terwujud, akibatnya dia melakukan berbagai tindakan penyerangan kepada siapa
saja, termasuk kepada aparat keamanan.
Pertentangan dikatakan sebagai konflik manakala
pertentangan itu bersifat langsung, yakni ditandai interaksi timbal balik di
antara pihakpihak yang bertentangan. Selain itu, pertentangan itu juga
dilakukan atas dasar kesadaran pada masing-masing pihak bahwa mereka saling
berbeda atau berlawanan (Syaifuddin, dalam Soetopo dan Supriyanto, 2003). Dalam
hubungannya dengan pertentangan sebagai konflik, Marck, Synder dan Gurr membuat
kriteria yang menandai suatu pertentangan sebagai konflik. Pertama, sebuah
konflik harus melibatkan dua atau lebih pihak di dalamnya; Kedua, pihak-pihak
tersebut saling tarik-menarik dalam aksi-aksi saling memusuhi (mutualy opposing
actions); Ketiga, mereka biasanya cenderung menjalankan perilaku koersif untuk
menghadapi dan menghancurkan “sang musuh”. Keempat, interaksi pertentangan di
antara pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas, karena itu keberadaan
peristiwa pertentangan itu dapat dideteksi dan dimufakati dengan mudah oleh
para pengamat yang tidak terlibat dalam pertentangan (Gurr, dalam Soetopo,
2001). Konflik dalam pengertian yang luas dapat dikatakan sebagai segala bentuk
hubungan antar manusia yang bersifat berlawanan (antagonistik) (Indrawijaya,
1986). Konflik adalah relasi-relasi psikologis yang antagonis, berkaitan dengan
tujuan-tujuan yang tak bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang
bermusuhan, dan struktur-struktur nilai yang berbeda. Konflik juga merupakan suatu
interaksi yang antagonis mencakup tingkah laku lahiriah yang tampak jelas mulai
dari bentuk perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tak langsung, sampai
pada bentuk perlawanan terbuka (Clinton dalam Soetopo dan Supriyanto, 2003).
Konflik dapat dikatakan sebagai suatu oposisi atau pertentangan pendapat antara
orang-orang, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi yang disebabkan oleh
adanya berbagai macam perkembangan dan perubahan dalam bidang manajemen, serta
menimbulkan perbedaan pendapat, keyakinan dan ide (Mulyasa, 2003). Hocker &
Wilmot (1991) memberikan definisi yang cukup luas terhadap konflik sebagai “an
expressed struggle betwen at least two interdependent parties who perceive
incompatibel goal, scarce rewards, and interference from the other parties in
achieving their goals”. Seseorang dikatakan terlibat konflik dengan pihak lain
jika sejumlah ketidaksepakatan muncul antara keduanya, dan masing-masing
menyadari adanya ketidaksepakatan itu. Jika hanya satu pihak yang merasakan
ketidaksetujuan, sedang yang lain tidak, maka belum bisa dikatakan konflik
antara dua pihak. Dengan kata lain, dua pihak harus menyadari adanya masalah
sebelum mereka berada di dalam konflik. Semua konflik seringkali dipandang
sebagai pencapaian tujuan satu pihak dan merupakan kegagalan pencapaian tujuan
pihak lain. Hal ini karena seringkali orang memandang tujuannya sendiri secara
lebih penting, sehingga meskipun konflik yang ada sebenarnya merupakan konflik
yang kecil, seolah-olah tampak sebagai konflik yang besar. Konflik muncul
diakibatkan salah satunya perebutan sumberdaya. Misalnya, jika dua orang duduk
sebangku dalam kelas, maka bangku itu menjadi sumberdaya. Apabila salah satu
pihak bertingkah laku seakanakan mau menguasai kamar, pihak lain akan terganggu
maka terjadilah konflik diakibatkan sumberdaya. Pihak-pihak yang berkonflik
saling tergantung satu sama lain, karena kepuasan seseorang tergantung perilaku
pihak lain. Jika kedua pihak merasa tidak perlu untuk menyelesaikan masalah,
maka perpecahan tidak dapat dihindari. Banyak konflik yang tidak terselesaikan
karena masing-masing pihak tidak memahami sifat saling ketergantungan. Selama
ini konflik sering dihubungkan dengan agresi. Broadman & Horowitz (dalam
Kusnarwatiningsih, 2007) menyatakan bahwa konflik dan agresi merupakan dua hal
yang berbeda. Konflik tidak selalu menghasilkan kerugian, tetapi juga membawa
dampak yang konstruktif bagi pihak-pihak yang terlibat, sedangkan agresi hanya
membawa dampak-dampak yang merugikan bagi individu. Dari keterangan diatas dapat
disimpulkan bahwa konflik adalah suatu pertentangan dalam bentuk-bentuk
perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tak langsung, sampai pada bentuk
perlawanan terbuka antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung satu sama
lain yang sama-sama merasakan tujuan yang saling tidak cocok, kelangkaan sumber
daya dan hambatan yang didapat dari pihak lain dalam mencapai tujuannya.
Tawuran antar pelajar (Gambar 6.3) adalah salah satu contoh konflik yang sering
terjadi di kalangan pelajar.
Konflik pada dasarnya merupakan bagian dari kehidupan sosial, karena itu
tidak ada masyarakat yang steril dari realitas konflik. Coser (1956)
menyatakan: konflik dan konsensus, integrasi dan perpecahan adalah proses
fundamental yang walau dalam porsi dan campuran yang berbeda merupakan bagian
dari setiap sistem sosial yang dapat dimengerti (Poloma, 1994). Karena konflik
merupakan bagian kehidupan sosial, maka dapat dikatakan konflik sosial
merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar. Dahrendorf (1986),
membuat 4 postulat yang menunjukkan keniscayaan itu, yaitu: (1) setiap
masyarakat tunduk pada proses perubahan, perubahan sosial terdapat di manamana;
(2) setiap masyarakat memperlihatkan konflik dan pertentangan, konflik terdapat
di mana-mana; (3) setiap unsur dalam masyarakat memeberikan kontribusi terhadap
desintegrasi dan perubahan; (4) setiap masyarakat dicirikan oleh adanya
penguasaan sejumlah kecil orang terhadap sejumlah besar lainnya. Coser (1956)
mengutip hasil pengamatan Simmel, menunjukkan bahwa konflik mungkin positif
sebab dapat meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok dengan
memantapkan keutuhan dan keseimbangan. Coser menyatakan bahwa masyarakat yang
terbuka dan berstruktur longgar membangun benteng untuk membendung tipe konflik
yang akan membahayakan konsensus dasar kelompok itu dari serangan terhadap
nilai intinya dengan membiarkan konflik itu berkembang di sekitar
masalah-masalah yang tidak mendasar (Poloma, 1994). Dengan demikian berarti,
konflik yang menyentuh nilai-nilai inti akan dapat mengubah struktur sosial
sedangkan konflik yang mempertentangkan nilai-nilai yang berada di daerah
pinggiran tidak akan sampai menimbulkan perpecahan yang dapat membahayakan
struktur sosial. Cobb dan Elder (1972) mengungkapkan adanya tiga dimensi
penting dalam konflik politik: (1) luas konflik; (2) intensitas konflik; dan
(3) ketampakan konflik. Luas konflik, menunjuk pada jumlah perorangan atau
kelompok yang terlibat dalam konflik, dan menunjuk pula pada skala konflik yang
terjadi (misalnya: konflik lokal, konflik etnis, konflik nasional, konflik
internasional, konflik agama dan sebagainya). Intensitas konflik adalah
luas-sempitnya komitmen sosial yang bisa terbangun akibat sebuah konflik.
Konflik yang intensitasnya tinggi adalah konflik yang bisa membangun komitmen
sosial yang luas, sehingga luas konflikpun mengembang. Adapun ketampakan
konflik adalah tingkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat di luar
pihak-pihak yang berkonflik tentang peristiwa konflik yang terjadi. Sebuah
konflik dikatakan memiliki ketampakan yang tinggi manakala peristiwa konflik
itu disadari dan diketahui detail keberadaannya oleh masyarakat secara luas.
Sebaliknya, sebuah konflik memiliki ketampakan rendah manakala konflik itu
terselimuti oleh berbagai hal sehingga tingkat kesadaran dan pengetahuan
masyarakat luas terhadap konflik itu sangat terbatas. Pandangan tradisional
tentang konflik mengandaikan konflik itu buruk, dipandang secara negatif, dan
disinonimkan dengan istilah kekerasan (violence), destruksi, dan
ketidakrasionalan demi memperkuat konotasi negatifnya. Konflik adalah
merugikan, oleh karena itu harus dihindari (Robbins, 1996). Pandangan pada masa
kini melihat konflik merupakan peristiwa yang wajar dalam kehidupan kelompok
dan organisasi. Dalam interaksi antara manusia, konflik tidak dapat
disingkirkan, tidak terelakkan, bahkan ada kalanya konflik dapat bermanfaat
pada kinerja kelompok. Berdasarkan pendekatan interaksionis memandang konflik
atas dasar bahwa kelompok yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung
menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan
inovasi. Oleh karena itu, kaum interaksionis mendorong pemimpin suatu kelompok
apapun untuk mempertahankan suatu tingkat minimum berkelanjutan dari konflik,
sehingga cukup untuk membuat kelompok itu hidup, kritis-diri dan kreatif. Perlu
ditegaskan, bahwa pendekatan interaksionis tersebut tidak berarti memandangan
semua konflik adalah suatu hal yang baik, tetap memandang konflik adalah suatu
hal yang tidak baik. Kaum interaksional memandang ada konflik yang mendukung
tujuan kelompok dan memperbaiki kinerja kelompok, biasa disebut dengan konflik
fungsional, sedangkan ada konflik yang menghalangi kinerja kelompok atau yang
disebut dengan konflik disfungsional atau destruktif.B. SUMBER KONFLIK SOSIAL
Konflik yang terjadi pada manusia bersumber pada berbagai macam sebab. Begitu beragamnya sumber konflik yang terjadi antar manusia, sehingga sulit itu untuk dideskripsikan secara jelas dan terperinci sumber dari konflik. Hal ini dikarenakan sesuatu yang seharusnya bisa menjadi sumber konflik, tetapi pada kelompok manusia tertentu ternyata tidak menjadi sumber konflik, demikian halnya sebaliknya. Kadang sesuatu yang sifatnya sepele bisa menjadi sumber konflik antara manusia. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Kesimpulannya sumber konflik itu sangat beragam dan kadang sifatnya tidak rasional. Oleh karena kita tidak bisa menetapkan secara tegas bahwa yang menjadi sumber konflik adalah sesuatu hal tertentu, apalagi hanya didasarkan pada hal-hal yang sifatnya rasional. Pada umumnya penyebab munculnya konflik kepentingan sebagai berikut: (1) perbedaan kebutuhan, nilai, dan tujuan, (2) langkanya sumber daya seperti kekuatan, pengaruh, ruang, waktu, uang, popularitas dan posisi, dan (3) persaingan. Ketika kebutuhan, nilai dan tujuan saling bertentangan, ketika sejumlah sumber daya menjadi terbatas, dan ketika persaingan untuk suatu penghargaan serta hak-hak istimewa muncul, konflik kepentingan akan muncul (Johnson & Johnson, 1991). Menurut Anoraga (dalam Saputro, 2003) suatu konflik dapat terjadi karena perbendaan pendapat, salah paham, ada pihak yang dirugikan, dan perasaan sensitif.
1. Perbedaan pendapat
Suatu konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana masing-masing pihak merasa dirinya benar, tidak ada yang mau
mengakui kesalahan, dan apabila perbedaan pendapat tersebut amat tajam maka dapat menimbulkan rasa kurang enak, ketegangan dan sebagainya.
2. Salah paham
Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik. Misalnya tindakan dari seseorang yang tujuan sebenarnya baik tetapi diterima sebaliknya oleh individu yang lain.
3. Ada pihak yang dirugikan
Tindakan salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan pihak lain sehingga seseorang yang dirugikan merasa kurang enak, kurang senang atau bahkan membenci.
4. Perasaan sensitif
Seseorang yang terlalu perasa sehingga sering menyalah artikan tindakan orang lain. Contoh, mungkin tindakan seseorang wajar, tetapi oleh pihak lain dianggap merugikan.
Baron & Byrne (dalam Kusnarwatiningsih, 2007) mengemukakan konflik disebabkan antara lain oleh perebutan sumber daya, pembalasan dendam, atribusi dan kesalahan dalam berkomunikasi. Sedangkan Soetopo (2001) juga mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya konflik, antara lain:
(1) ciri umum dari pihak-pihak yang terlibat
dalam konflik;
(2) hubungan pihak-pihak yang mengalami konflik
sebelum terjadi konflik;
(3) sifat masalah yang menimbulkan konflik;
(4)
lingkungan sosial tempat konflik terjadi;
(5)
kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik;
(6)
strategi yang biasa digunakan pihak-pihak yang mengalami konflik;
(7)
konsekuensi konflik terhadap pihak yang mengalami konflik dan terhadap pihak lain; dan
(8)
tingkat kematangan pihak-pihak yang berkonflik. Ada enam kategori penting dari
kondisi-kondisi pemula (antecedent conditions) yang menjadi penyebab konflik,
yaitu:
(1)
persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources),
(2)
ketergantungan pekerjaan (task interdependence),
(3)
kekaburan bidang tugas (jurisdictional ambiguity),
(4) problem status (status problem),
(5) rintangan komunikasi (communication
barriers), dan
(6)
sifat-sifat individu (individual traits) (Robbins, Walton & Dutton dalam
Wexley & Yukl, 1988).
Schmuck (dalam Soetopo dan Supriyanto, 1999) mengemukakan bahwa kategori sumber-sumber konflik ada empat, yaitu (1) adanya perbedaan fungsi dalam organisasi, (2) adanya pertentangan kekuatan antar orang dan subsistem, (3) adanya perbedaan peranan, dan (4) adanya tekanan yang dipaksakan dari luar kepada organisasi.
Schmuck (dalam Soetopo dan Supriyanto, 1999) mengemukakan bahwa kategori sumber-sumber konflik ada empat, yaitu (1) adanya perbedaan fungsi dalam organisasi, (2) adanya pertentangan kekuatan antar orang dan subsistem, (3) adanya perbedaan peranan, dan (4) adanya tekanan yang dipaksakan dari luar kepada organisasi.
Ø
Sedangkan Handoko (1998) menyatakan bahwa
sumber-sumber konflik adalah sebagai berikut.
Ø
Komunikasi: salah pengertian yang berkenaan
dengan kalimat, bahasa yang sulit dimengerti, atau informasi yang mendua dan
tidak lengkap, serta gaya individu manajer yang tidak konsisten.
Struktur: pertarungan kekuasaan antar departemen dengan kepentingan-kepentingan atau sistem penilaian yang bertentangan, persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber daya yang terbatas, atau saling ketergantungan dua atau lebih kelompok-kelompok kegiatan kerja untuk mencapai tujuan mereka.
tidak lengkap, serta gaya individu manajer yang tidak konsisten.
Struktur: pertarungan kekuasaan antar departemen dengan kepentingan-kepentingan atau sistem penilaian yang bertentangan, persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber daya yang terbatas, atau saling ketergantungan dua atau lebih kelompok-kelompok kegiatan kerja untuk mencapai tujuan mereka.
Ø
Pribadi: ketidaksesuaian tujuan atau nilai-nilai
sosial pribadi karyawan dengan perilaku
yang diperankan pada jabatan mereka,
dan perbedaan dalam nilai-nilai atau persepsi.
Berbeda pula dengan pendapat Mangkunegara (2001) bahwa penyebab konflik dalam organisasi adalah: (1) koordinasi kerja yang tidak dilakukan, (2) ketergantungan dalam pelaksanaan tugas, (3) tugas yang tidak jelas (tidak ada diskripsi jabatan), (4) perbedaan dalam orientasi kerja, (5) perbedaan dalam memahami tujuan organisasi, (6) perbedaan persepsi, (7) sistem kompetensi intensif (reward), dan (8) strategi permotivasian yang tidak tepat. Berdasarkan beberapa pendapat tentang sumber konflik sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat ditegaskan bahwa sumber konflik dapat berasal dari dalam dan luar diri individu. Dari dalam diri individu misalnya adanya perbedaan tujuan, nilai, kebutuhan serta perasaan yang terlalu sensitif. Dari luar diri individu misalnya adanya tekanan dari lingkungan, persaingan, serta langkanya sumber daya yang ada.
1. Faktor Penyebab Konflik
a. Perbedaan individu
Perbedaan kepribadian antar individu bisa menjadi faktor penyebab terjadinya konflik, biasanya perbedaan individu yang menjadi sumber konflik adalah perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik, artinya setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbedabeda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
b. Perbedaan latar belakang kebudayaan
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
c. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan
yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda- beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan.
Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
dan perbedaan dalam nilai-nilai atau persepsi.
Berbeda pula dengan pendapat Mangkunegara (2001) bahwa penyebab konflik dalam organisasi adalah: (1) koordinasi kerja yang tidak dilakukan, (2) ketergantungan dalam pelaksanaan tugas, (3) tugas yang tidak jelas (tidak ada diskripsi jabatan), (4) perbedaan dalam orientasi kerja, (5) perbedaan dalam memahami tujuan organisasi, (6) perbedaan persepsi, (7) sistem kompetensi intensif (reward), dan (8) strategi permotivasian yang tidak tepat. Berdasarkan beberapa pendapat tentang sumber konflik sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat ditegaskan bahwa sumber konflik dapat berasal dari dalam dan luar diri individu. Dari dalam diri individu misalnya adanya perbedaan tujuan, nilai, kebutuhan serta perasaan yang terlalu sensitif. Dari luar diri individu misalnya adanya tekanan dari lingkungan, persaingan, serta langkanya sumber daya yang ada.
1. Faktor Penyebab Konflik
a. Perbedaan individu
Perbedaan kepribadian antar individu bisa menjadi faktor penyebab terjadinya konflik, biasanya perbedaan individu yang menjadi sumber konflik adalah perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik, artinya setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbedabeda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
b. Perbedaan latar belakang kebudayaan
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
c. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan
yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda- beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan.
Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
d. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan
mendadak dalam masyarakat
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.
Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai
kegotong royongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang
disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi
hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan.
Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang
pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu
yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan
ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan
prosesproses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap
semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan
masyarakat yang telah ada.
C. BENTUK KONFLIK SOSIALSasse (1981) mengajukan istilah yang bersinonim maknanya dengan nama conflict style, yaitu cara orang bersikap ketika menghadapi pertentangan. Conflict style ini memiliki kaitan dengan kepribadian. Maka orang yang berbeda akan menggunakan conflict style yang berbeda pada saat mengalami konflik dengan orang lain. Sedangkan Rubin (dalam Farida, 1996) menyatakan bahwa konflik timbul dalam berbagai situasi sosial, baik terjadi dalam diri seseorang individu, antar individu, kelompok, organisasi maupun antar negara. Ada banyak kemungkinan menghadapi konflik yang dikenal dengan istilah manajemen konflik. Konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai macam ragamnya, bentuknya, dan jenisnya. Soetopo (1999) mengklasifikasikan jenis konflik, dipandang dari segi materinya menjadi empat, yaitu:
1. Konflik tujuan
Konflik tujuan terjadi jika ada dua tujuan atau yang kompetitif bahkan yang kontradiktif.
2. Konflik peranan
Konflik peranan timbul karena manusia memiliki lebih dari satu peranan dan tiap peranan tidak selalu memiliki kepentingan yang
sama.
3. Konflik nilai
Konflik nilai dapat muncul karena pada dasarnya nilai yang dimiliki setiap individu dalam organisasi tidak sama, sehingga konflik
dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan organisasi.
4. Konflik kebijakan
Konflik kebijakan dapat terjadi karena ada ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap perbedaan kebijakan yang dikemuka- kan oleh satu pihak dan kebijakan lainnya.
Konflik dipandang destruktif dan disfungsional
bagi individu yang terlibat apabila:
1. Konflik terjadi dalam frekuensi yang tinggi dan menyita sebagian besar kesempatan individu untuk berinteraksi. Ini menandakan bahwa problem tidak diselesaikan secara kuat. Sebaliknya, konflik yang konstruktif terjadi dalam frekuensi yang wajar dan masih memungkinkan individu-individunya berinteraksi secara harmonis.
2. Konflik diekspresikan dalam bentuk agresi seperti ancaman atau paksaan dan terjadi pembesaran konflik baik pembesaran masalah yang menjadi isu konflik maupun peningkatan jumlah individu yang terlibat. Dalam konflik yang konstruktif isu akan tetap terfokus dan dirundingkan melalui proses pemecahan masalah yang saling menguntungkan.
3. Konflik berakhir dengan terputusnya interaksi antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam konflik yang konstruktif, kelangsungan hubungan antara pihak-pihak yang terlibat akan tetap terjaga. Sedangkan Handoko (1984) membagi konflik menjadi 5 jenis yaitu: (1) konflik dari dalam individu, (2) konflik antar individu dalam organisasi yang sama, (3) konflik antar individu dalam kelompok, (4) konflik antara kelompok dalam organisasi, (5) konflik antar organisasi.
Berbeda dengan pendapat diatas Mulyasa (2003) membagi konflik berdasarkan tingkatannya menjadi enam yaitu: (1) konflik intrapersonal, (2) konflik interpersonal, (3) konflik intragroup, (4) konflik intergroup, (5) konflik intraorganisasi, dan (6) konflik interorganisasi. Menurut Dahrendorf (1986), konflik dibedakan menjadi 4 macam: (1) konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role); (2) konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank); (3) konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa); dan (4) konflik antar satuan nasional (perang saudara). Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut: (1) meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (in-group) yang mengalami konflik dengan kelompok lain; (2) keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai; (3) perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbul nya rasa dendam, benci, saling curiga dan sebagainya; (4) kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia; dan (5) dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori konflik mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut.
1. Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
2. Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk “memenangkan” konflik.
3. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan “kemenangan” konflik bagi pihak tersebut.
4. Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.
D. PROSES KONFLIK1. Konflik terjadi dalam frekuensi yang tinggi dan menyita sebagian besar kesempatan individu untuk berinteraksi. Ini menandakan bahwa problem tidak diselesaikan secara kuat. Sebaliknya, konflik yang konstruktif terjadi dalam frekuensi yang wajar dan masih memungkinkan individu-individunya berinteraksi secara harmonis.
2. Konflik diekspresikan dalam bentuk agresi seperti ancaman atau paksaan dan terjadi pembesaran konflik baik pembesaran masalah yang menjadi isu konflik maupun peningkatan jumlah individu yang terlibat. Dalam konflik yang konstruktif isu akan tetap terfokus dan dirundingkan melalui proses pemecahan masalah yang saling menguntungkan.
3. Konflik berakhir dengan terputusnya interaksi antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam konflik yang konstruktif, kelangsungan hubungan antara pihak-pihak yang terlibat akan tetap terjaga. Sedangkan Handoko (1984) membagi konflik menjadi 5 jenis yaitu: (1) konflik dari dalam individu, (2) konflik antar individu dalam organisasi yang sama, (3) konflik antar individu dalam kelompok, (4) konflik antara kelompok dalam organisasi, (5) konflik antar organisasi.
Berbeda dengan pendapat diatas Mulyasa (2003) membagi konflik berdasarkan tingkatannya menjadi enam yaitu: (1) konflik intrapersonal, (2) konflik interpersonal, (3) konflik intragroup, (4) konflik intergroup, (5) konflik intraorganisasi, dan (6) konflik interorganisasi. Menurut Dahrendorf (1986), konflik dibedakan menjadi 4 macam: (1) konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role); (2) konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank); (3) konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa); dan (4) konflik antar satuan nasional (perang saudara). Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut: (1) meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (in-group) yang mengalami konflik dengan kelompok lain; (2) keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai; (3) perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbul nya rasa dendam, benci, saling curiga dan sebagainya; (4) kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia; dan (5) dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori konflik mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut.
1. Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
2. Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk “memenangkan” konflik.
3. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan “kemenangan” konflik bagi pihak tersebut.
4. Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.
Menurut Robbins (1996) proses konflik terdiri dari lima tahap, yaitu: (1) oposisi atau ketidakcocokan potensial; (2) kognisi dan personalisasi; (3) maksud; (4) perilaku; dan (5) hasil. Oposisi atau ketidakcocokan potensial adalah adanya kondisi yang mencipta-kan kesempatan untuk munculnya koinflik. Kondisi ini tidak perlu langsung mengarah ke konflik, tetapi salah satu kondisi itu perlu jika konflik itu harus muncul. Kondisi tersebut dikelompokkan dalam kategori: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi. Komunikasi yang buruk merupakan alasan utama dari konflik, selain itu masalah-masalah dalam proses komunikasi berperan dalam menghalangi kolaborasi dan merangsang kesalahpahaman. Struktur juga bisa menjadi titik awal dari konflik. Struktur dalam hal ini meliputi: ukuran, derajat spesialisasi dalam tugas yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi, kecocokan anggotatujuan, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok-kelompok. Variabel pribadi juga bisa menjadi titik awal dari konflik. Pernahkah kita mengalami situasi ketika bertemu dengan orang langsung tidak menyukainya? Apakah itu kumisnya, suaranya, pakaiannya dan sebagainya. Karakter pribadi yang mencakup sistem nilai individual tiap orang dan karakteristik kepribadian, serta perbedaan individual bisa menjadi titik awal dari konflik. Kognisi dan personalisasi adalah persepsi dari salah satu pihak atau masing-masing pihak terhadap konflik yang sedang dihadapi. Kesadaran oleh satu pihak atau lebih akan eksistensi kondisi-kondisi yang menciptakan kesempatan untuk timbulnya konflik. Bilamana hal ini terjadi dan berlanjut pada tingkan terasakan, yaitu pelibatan emosional dalam suatu konflik yang akan menciptakan kecemasan, ketegangan, frustasi dan pemusuhan. Maksud adalah keputusan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu dari pihak-pihak yang berkonflik. Maksud dari pihak yang berkonflik ini akan tercermin atau terwujud dalam perilaku, walaupun tidak selalu konsisten. Maksud dalam penanganan suatu konflik ada lima, yaitu:
(1)
bersaing, tegas dan tidak kooperatif, yaitu suatu hasrat untuk memuaskan
kepentingan seseorang atau diri sendiri, tidak peduli dampaknya terhadap pihak
lain dalam suatu episode konflik;
(2)
berkolaborasi, bila pihak-pihak yang berkonflik masing-masing berhasrat untuk
memenuhi sepenuhnya kepentingan dari semua pihak, kooperatif dan pencaharian
hasil yang bermanfaat bagi semua pihak
(3) mengindar, bilamana salah satu dari
pihak-pihak yang berkonflik mempunyai hasrat untuk menarik diri, mengabaikan
dari atau menekan suatu konflik;
(4)
mengakomodasi, bila satu pihak berusaha untuk memuaskan seorang lawan, atau
kesediaan dari salah satu pihak dalam suatu konflik untuk menaruh kepentingan
lawannya diatas kepentingannya;
(5) berkomromi, adalah suatu situasi di mana
masing-masing pihak dalam suatu konflik bersedia untuk melepaskan atau
mengurangi tuntutannya masing-masing. Perilaku mencakup pernyataan, tindakan,
dan reaksi yang dibuat an untuk menghancurkan pihak lain, serangan fisik yang
agresif, ancaman dan ultimatun, serangan verbal yang tegas, pertanyaan atau
tantangan terang-terangan terhadap pihak lain, dan ketidaksepakatan atau
salahpaham kecil. Hasil adalah jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang
berkonflik dan menghasilkan konsekuensi. Hasil bisa fungsional dalam arti
konflik menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, atau disfungsional dalam
arti merintangi kinerja kelompok.oleh pihak-pihak yang berkonflik. Perilaku
meliputi: upaya terang-terang an untuk menghancurkan pihak lain, serangan fisik
yang agresif, ancaman dan ultimatun, serangan verbal yang tegas, pertanyaan
atau tantangan terang-terangan terhadap pihak lain, dan ketidaksepakatan atau
salahpaham kecil. Hasil adalah jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang
berkonflik dan menghasilkan konsekuensi. Hasil bisa fungsional dalam arti
konflik menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, atau disfungsional dalam
arti merintangi kinerja kelompok.
0 komentar:
Posting Komentar